Thursday, May 25, 2017

Q Center Journey – Phenomenal Learning Center

Once upon a time, saya mendapatkan kesempatan belajar ke negeri Paman Sam dari tempat saya bekerja. Tentu tak semua orang mendapat kesempatan langka ini. Dan saya pun sudah beberapa kali berbagi pengalaman ini kepada banyak orang. Namun seiring berjalannya waktu, hingga saya menulis ini, belum ada organisasi di Indonesia yang mampu melewati apa yang pernah saya lihat (mohon maaf bila pengetahuan saya yang terbatas). Oleh sebab itu, tak ada salahnya saat ini saya luangkan waktu untuk berbagi kepada siapapun yang membaca tulisan ini. Semoga dapat berguna bagi kemajuan perusahaannya.

Saat di pintu gerbang masuk Q Center, saya secara tidak sengaja berpapasan dengan salah satu peserta pembelajaran yang akan pulang karena ia sudah menjalani sesi pembelajaran di Q Center kurang lebih 1 (satu) minggu. Saya pun berbincang-bincang singkat dengannya, seingat saya, peserta pembelajaran itu adalah konsultan dari Canada atau Italy, dan ada 1 (satu) jawaban atas pertanyaan saya yang sangat berkesan,

“Setelah belajar disini, apa yang engkau rasakan saat ini?”, tanya saya.

“Hhhh…..(menghela nafas), aku sangat sedih hari ini, karena harus meninggalkan tempat ini, banyak sekali yang aku pelajari disini, rasanya aku masih ingin melanjutkan belajar disni, dan tak terasa sekarang aku sudah harus kembali lagi ke tempat kerja”, ungkap salah satu peserta pembelajaran.

Dari pertemuan singkat tersebut, saya menjadi penasaran, ada apa di Q Center, resep seperti apa yang mereka jalankan sampai membuat pesertanya begitu terkesima, tak sabar rasanya saya ingin segera masuk ke gedung Q Center, mempelajari fasilitas di dalamnya dan bagaimana tata kelola mereka.


Akhirnya waktu yang dinantikan tiba, kami disambut oleh Chief Learning Officer-nya Q Center, Mr. Donald Vanthournout dan para expert pembelajaran lainnya, yaitu: Kurt Olson dan Tad Waddington. Mereka bertiga adalah penulis buku Return on Learning – Training for High Performance at Accenture, 2006. Dari mereka kami banyak belajar langsung tentang bagaimana Accenture mengelola pembelajarannya.

Accenture merupakan perusahaan kelas dunia bergerak di konsultan manajemen, layanan teknologi dan perusahaan outsourcing. Memiliki 211.000 karyawan yang melayani klien di lebih dari 120 negara. Pendapatan bersih perusahaan pada waktu itu sekitar US $ 21,6 miliar. Accenture memposisikan dirinya sebagai pemimpin global yang memiliki pengalaman, kemampuan dan hubungan tak tertandingi. Mereka membantu klien dalam hal arsitek dan memberikan solusi untuk menciptakan nilai (create value). 3 (tiga) bisnis utama mereka adalah:

1.     Business Consulting, nearly 90% of the world’s top companies benefit from Accenture insights and solutions.
2.    Technology Consulting, experienced professionals bring the latest technology to deliver solutions, no matter how complex or risky.
3.   Outsourcing, using data networks and a suite of powerful online applications, Accenture can help clients focus on their core business.
Apakah training memberikan nilai tambah bagi organisasi? Bagaimanakah Accenture menghitung Return On Investment (ROI) dalam pembelajaran?
Beberapa input yang menjadi pertimbangan mereka adalah sebagai berikut:
1.     Cost rates
2.     Bill rates
3.     Promotion Date
4.     Time with Accenture
5.     Hours spent in training

Selanjutnya untuk menghitung ROI, mereka melakukan pendekatan kuantitatif (berdasarkan data pengusahaan) dan kualitatif (berdasarkan hasil survey dari peserta pembelajaran), dan hasilnya sebagai berikut:
1.     Annual net benefit = $25,000 per person
2.     6.67 X more likely to think Accenture is a great place to work

Dengan jumlah karyawan yang jauh lebih banyak dari tempat saya bekerja, saya penasaran bagaimana mereka bisa mengelola itu semua dan dengan skala global? Rupanya mereka memiliki 5 (lima) metode untuk menyampaikan pembelajaran dengan cara sebagai berikut:
1.    Traditional Classroom, peserta dipanggil ke Q Center dan Training Center terdekat lainnya untuk pembelajaran yang sifatnya soft skill dan perlu banyak interaksi dan berbagi pengalaman.
2.    Virtual Classroom, peserta belajar melalui komputer dan berinteraksi dengan pengajar melalui internet.
3.    Independent Computer Based Training, peserta belajar melalui komputer tanpa ada interaksi dengan pengajar.
4.  Vendors, Accenture bekerjasama dengan vendor-vendor yang kompeten di bidangnya, misalnya training tentang SAP, dilakukan dengan bekerjasama dengan SAP. Mereka tidak punya banyak waktu untuk mengembangkan sendiri, yang mereka perlukan adalah ilmu yang update karena hal itulah yang dibutuhkan dari pelanggan mereka.
5.     Key Knowledge Capital Assets, Accenture memiliki semacam digital/online library yang dapat diakses oleh para karyawan untuk menambah pengetahuan secara mandiri.

Dari metode yang diselenggarakan Accenture, terlihat bahwa eLearning telah mampu merubah biaya training secara radikal. Dalam 5 tahun, mereka telah merubah strategi 70% classroom 30% Distributed menjadi 30% classroom 70% Distributed. Porsi In Class Training (ICT) dan Digital Learning (DL) inilah yang nantinya menjadi cikal bakal referensi road map e-learning atau sekarang disebut DL di tempat saya bekerja. Bagi Accenture, ICT tetap memegang peranan penting dalam proses pembelajaran, tapi sekarang mereka menggunakannya untuk penetapan sasaran, tujuan strategis seperti menanamkan budaya, membangun jaringan profesional, pengajaran keterampilan kompleks. Saat masih era BlackBerry, jika di Indonesia masih BBM-an, sementara mereka sudah menggunakannya untuk keperluan mobile learning, sebagaimana gambar berikut:



Lalu bagaimanakah kurikulum pembelajaran dikembangkan disana? Saya semakin penasaran bertanya untuk mencari root (akar) darimana metode tersebut berasal. Mereka membagi 2 (dua) pembelajaran, soft dan hard, yaitu:
1.     Soft Training: Core Training – Building the Accenture Professional, Pengembangan kompetensi inti, terkait dengan strategi bisnis secara keseluruhan. Memperkuat budaya dan nilai-nilai. Membangun keterampilan profesional yang penting seperti kepemimpinan, penciptaan nilai, membangun hubungan, ketajaman bisnis, menjual, disiplin ilmu manajemen, kecerdasan teknologi, dan metodologi.
2.     Hard Training:
a.    Growth Platform Training – Developing deep specialty and delivery excellence skills, Pengembangan ketrampilan fungsional dan teknis. Contoh: SAP, Oracle, Cisco, Supply Chain Management, dll
b.   Industry Training – Providing market relevant content and context, Program untuk mengembangkan ketajaman insdustri dan menambah wawasan. Contoh: Banking, Infrastructure and Transportation, Energy, Automotive, dll
c.     Job Readiness and Remediation – Preparing for or providing remediation for specific skills or a specific role or task, Fokus pada pengetahuan dan membangun keterampilan untuk menangani specific project yang membutuhkan keterampilan khusus. Sangat spesifik dan jangka pendek untuk mendapatkan seseorang siap untuk melaksanakan tugas berikutnya.

Hal yang menarik dari perjalanan saya ke Q Center adalah, Accenture sebagai konsultan SAP, ternyata mereka tidak menggunakan SAP untuk mengelola trainingnya, mereka membangun sendiri aplikasi bernama myLearning. Dasar pemikiran inilah yang menguatkan tempat saya bekerja tetap mengembangkan Learning Management System (LMS)-nya sendiri. Aplikasi myLearning yang dimiliki Accenture pada waktu itu sangatlah canggih, bahkan sampai tulisan ini ditulis pun, belum pernah saya melihat ada organisasi yang mampu menyamai keunggulan mereka. Disini saya merasa bahwa pola pikir negara-negara barat sangat maju, dan seharusnya negara berkembang seperti Indonesia bisa dengan cepat mengejar ketertinggalan dengan konsep sederhana, ATM, Amati Tiru Modifikasi. Aplikasi myLearning mampu mencari dengan mudah training yang sesuai dengan jabatan dan yang direkomendasikan, mencetak sertifikat secara online, training yang selaras dengan jenjang karir, kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan bisnis

Jika ingin belajar mengelola training dengan skala global, belajarlah dari organisasi seperti Accenture yang terbukti mampu mengelola:
1.     237,000 participant days of training
2.     185,000 people
3.     $985M spent on training
4.     1.1M course completion
5.     1,100 centralized classroom sessions
6.     1,300+ virtual classroom sessions
7.     13.2M hours of training
8.     100+ venues
9.     multiple workforces and workgroups

Lalu apa rahasia terbesar keberhasilan Accenture mengelola training mereka? Mudah disampaikan namun sulit untuk ditiru atau diterapkan, mereka menggunakan konsep phenomenal learning. Phenomenal Learning bagi mereka tidak sekedar pengetahuan dan keterampilan, tetapi adalah sebuah pengalaman, yaitu: pengalaman dalam pembelajaran, pengalaman dalam membangun jejaring, pengalaman internalisasi budaya, pengalaman sebagai tamu. Dikatakan phenomenal apabila memenuhi 4 unsur sebagaimana gambar berikut:

Pengalaman dalam pembelajaran, aspek yang menjadi perhatian penting adalah bagaimana peserta terkesan dengan para pengajar, materi pembelajaran yang mereka dapatkan, dan metode pembelajaran yang menarik.

Pengalaman dalam membangun jejaring, aspek yang menjadi perhatian penting adalah bagaimana peserta berkenalan dan menjalin relasi dengan peserta yang heterogen dari kawasan yang berbeda-beda. Mereka dapat berbagi pengalaman satu sama lain dan dapat saling membantu di kemudian hari setelah mengikuti pembelajaran.

Pengalaman internalisasi budaya (enkulturasi), aspek yang menjadi perhatian penting adalah bagaimana peserta mempelajari nilai dan norma kebudayaan dari peserta lain yang berbeda kawasan. Sebagai konsultan mereka harus mampu mengenali ragam budaya sehinga mampu berbaur dengan pelanggan mereka dimanapun berada sehingga saran-saran mereka dapat didengar.

Pengalaman sebagai tamu, aspek yang menjadi perhatian penting adalah bagaimana peserta dilayani seperti halnya tamu penting (diistimewakan, tanpa membeda-bedakan dari mana asalnya). Peserta merasakan kebahagiaan karena dilayani mulai dari kedatangan sampai dengan kepulangan. Seperti halnya tamu wisata, merasakan ramahnya penyambutan, fasilitas modern yang menyenangkan, dan lingkungan yang bersih dan nyaman.

Semoga saja tulisan ini dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca, dan dengan senang hati kita dapat saling berbagi pengalaman, khususnya bagi para pembaca yang memiliki pengalaman di organisasi yang mampu mengelola pembelajaran seperti di Q Center.

Penulis: Ridho Hutomo