Monday, June 19, 2017

Savvy Learner

Dalam Era Digital saat ini, dunia menjadi sangat datar. Informasi sangatlah mudah untuk diperoleh, khususnya bagi para “Seeker” atau Sang Pencari. Sehingga tak heran saat ini dalam dunia bisnis selalu dituntut yang namanya Agility atau Kelincahan. Kelincahan terhadap apa? Kelincahan terhadap melihat pasar dan bertindak secara cepat, beradaptasi untuk cepat berubah agar tetap survive.


Kita ambil salah satu contoh di Indonesia, siapa yang tak kenal Kaskus? Salah satu pelopor jual beli online di Indonesia. Kaskus pernah menjadi website utama bagi para Generasi Millenials yang lebih menyenangi teknologi digital dalam bersosialisasi maupun bertransaksi. So what now? Kaskus sudah mulai kalah bersaing dengan pendatang baru, traffic pengunjungnya sudah mulai menurun dan sudah di bawah tokopedia, lazada, olx, dan bukalapak.

Perusahaan-perusahaan maju baik di Indonesia maupun di Luar Negeri sudah terbiasa memiliki program-program peningkatan kapabilitas tenaga kerjanya (capacitiy building program), namun sayangnya masih banyak yang menggunakan pendekatan lama, seperti In Class Training (ICT). Metode ICT bukan jelek, namun Pendidikan Formal seperti ini disamping relatif mahal penyelenggaraannya juga lambat dalam pelaksanaannya. Jika hanya mengandalkan pendekatan ini semata, maka tak pelak lagi perusahaan tidak akan mampu menghadapi agilty agar dapat survive dalam perubahan bisnis yang cepat bahkan cenderung egois.

Sudah saatnya perusahaan mulai memikirkan cara pandang baru, yaitu membudayakan Savvy Learner.

Savvy menurut definisinya adalah kemampuan praktis (practical knowledge), sehingga memiliki kompetensi yang cukup untuk menilai situasi/mengambil keputusan (the ability to make good judgments). Orang yang memiliki kemampuan ini memiliki pengetahuan yang luas, akal sehat praktis, mampu memadukan gagasan yang beragam sehingga mampu mengatakan/melakukan hal yang benar dalam situasi apapun.

Saat ini kita hidup di era informasi, banyak informasi bertebaran, mana berita yang benar atau berita yang hoax sama banyaknya. Perlu pandai memilah informasi melalui pemahaman yang luas. Pemahaman yang sempit tanpa akal sehat praktis justru dapat menjadi jebakan para Generasi Millenials yang merupakan para “Seeker” di dunia digital. Menurut Spencer & Spencer (1993), sesungguhnya Kompetensi Information Seeking adalah kompetensi yang sangat telah terbukti dibutuhkan para talent untuk membawa kesuksesan suatu perusahaan.

Kepemilikan belajar mandiri merupakan kunci utama untuk menjadi Savvy Learner yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan perusahaan. Dengan demikian, manajemen di perusahaan harus memiliki strategi untuk menumbuhkan lingkungan yang mendukung budaya ini, seperti: menjawab pertanyaan sederhana dari para Millenials “apa yang harus saya pelajari?

Manajemen harus concern terhadap dahaga para Millenials untuk ingin tahu lebih banyak, berikanlah penugasan-penugasan yang menantang dan mengarahkan pada sesuatu yang postif bagi perusahaan. Tugaskanlah para Millenials mencari informasi yang dibutuhkan perusahaan, jangan biarkan mereka liar mencari informasi yang kurang relevan dengan perusahaan. Bukan produktivitas yang didapatkan, justru turunnya produktivitas karena terlalu lama berselancar di dunia digital yang memboroskan energi dan waktu.

Perubahan perusahaan saat ini dan ke depan akan banyak dipicu dari Generasi Millennials. Mereka memang miskin pengalaman, tetapi tak punya rasa takut untuk menantang masa depan yang unclear, unpredictable, dan uncertain.

Penulis: Ridho Hutomo 

No comments:

Post a Comment