"Ketika
satu pintu tertutup, pintu-pintu lainnya terbuka, tetapi kita sering terlalu
lama menatap dan menyesali pintu yang tertutup itu sehingga kita tidak melihat
pintu yang terbuka untuk kita." - Alexander Graham Bell.
Pernahkah kita mendengar
nasehat bahwa kita harus terus berusaha dan pantang menyerah? Motivasi tersebut
sangat sering kita dengar namun sangat sulit untuk dilakukan. Mengapa? Karena
pada umumnya manusia mudah putus asa terhadap apa yang namanya kegagalan.
Jarang sekali meyakini bahwa keajaiban akan datang bagi orang-orang yang terus
berusaha.
Alkisah ada seorang warga
desa miskin bernama Tejo. Ia hidup di bawah kaki gunung batu dan tandus. Untuk
menghidupi keluarganya, yang ia lakukan adalah memecah bebatuan dan menjualnya
ke kota. Sayangnya letak kota ada di balik gunung batu dan tandus tersebut. Ia
harus mendaki gunung dan turun gunung setiap harinya. Tejo lahir dari keluarga
yang kental budaya menghargai tanah leluhur. Itulah sebabnya ia tak mau pindah
ke kota ataupun ke pinggiran kota. Daerah yang tandus menyebabkan desa Tejo
dilanda kekeringan dan banyak warga desa yang lama kelamaan pindah ke kota atau
pinggiran kota untuk mencari mata pencarian lainnya.
Suatu ketika anaknya berkata
padanya ingin pindah ke kota, karena tidak tahan hidup dengan kemisikinan di
tanah yang tandus. Anaknya berpendapat bahwa tanah kelahirannya sudah sangat
tandus dan sudah tidak diberkati lagi oleh Tuhan. Dahulu memang desa tersebut
banyak penduduknya, namun karena musim hujan tak pernah kunjung, akhirnya
kekeringan melanda desa tersebut. Banyak penduduk yang meninggal dunia dan
sebagian dari mereka pindah ke kota. Hanya yang menjaga tradisi leluhur saja
yang tetap bertahan di desa tersebut.
Dengan berat hati, Tejo
mengizinkan anaknya untuk pindah ke kota. Ia dan istrinya tetap tinggal untuk
menjaga tradisi lelulur. Dalam perjalanan menuju ke kota, anaknya harus mendaki
gunung yang terjal. Namun nasib berkata lain, anaknya tergelincir dan jatuh
sehingga kepalanya terbentur bebatuan yang keras. Akibat hal tersebut, anak
Tejo mengalami luka parah. Mendengar kabar tersebut, Tejo langsung menuju
lokasi kejadian dan menjumpai kepala anaknya bercucuran darah. Karena tidak ada
dokter di desanya, Tejo bergegas menuju ke kota yang berjarak 25 km dengan cara
berjalan kaki. Sesampainya di kota, nyawa anaknya sudah tidak dapat tertolong
lagi.
Berita duka tersebut membuat
histeris istri Tejo. Istrinya terus menangis berhari-hari meratapi nasib yang
menimpa keluarga mereka. Akibat kejadian tersebut, Istri Tejo sering
menyalahkan Tejo. Jika saja mereka pindah ke kota bersama-sama, hal tersebut tentunya
tidak akan terjadi. Penyesalan yang mendalam dari Istri Tejo membuatnya sakit.
Sakit yang diderita Istri Tejo sangat berkepanjangan. Ekonomi yang lemah
membuat Tejo tak sanggup membeli obat untuk menyembuhkan sakit Istrinya. Sampai
pada akhirnya Istrinya pun menyusul anaknya karena sakit yang tak kunjung
sembuh.
Tejo sangat sedih sekali
kehilangan keluarga yang ia cintai. Tejo begitu marah dengan gunung batu dan tandus
yang ia tinggalin. Ia merasa ia sudah menjaga gunung itu, namun kenapa keluarga
yang ia cintai justru meninggalkannya karena gunung batu dan tandus tersebut
telah mencelakai anaknya hingga meninggal dunia. Tejo beranggapan, jika saja
gunung itu tidak terjal dan menghalangi jalan ke kota, maka kejadian anaknya
tergelincir tidak akan ada. Hidup Tejo tanpa harapan, ia sudah tak punya
harapan hidup lagi karena sudah tidak memiliki keluarga. Untuk apalagi ia
hidup. Namun sebelum ia dipanggil Tuhan, ia bertekad untuk membalaskan
dendamnya.
Sejak hari itu, Tejo
mengambil Palu dan linggisnya dan bertekad untuk menghancurkan gunung tersebut
dengan tangannya sendiri. Orang-orang di desanya menganggap Tejo sudah gila
karena ditinggal keluarganya. Mana mungkin gunung yang besar dapat dihancurkan
sendiri oleh seorang Tejo. Setiap hari ia menghancurkan bebatuan di gunung tersebut.
Terik matahari, kelaparan, kehausan, tangan dan otot yang luka menjadi
keseharian Tejo. 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun ia lalui. Ia tetap menghancurkan
bebatuan seorang diri. Tak ada seorang pun yang mau membantunya. Orang-orang
menganggapnya gila.
Warga desanya sering
menasehatinya, untuk apa ia melakukan semua itu, dan menghimbau untuk berhenti.
Namun dendam Tejo amatlah dalam terhadap gunung tersebut. Ia tidak mau mati
sebelum menghancurkan gunung tersebut.
Suatu ketika, saat Tejo
sedang melakukan rutinitasnya menghancurkan gunung, terjadilah hujan lebat yang
luar biasa dan terjadi sambaran petir. Tejo sangat khawatir dan takut sekali
dengan sambaran petir yang luar biasa banyak. Ia belum pernah melihat petir
yang menggelegar selama ini. Beruntung bagi Tejo yang menemukan batu besar di
dekatnya, ia pun berlindung di batu besar tersebut. Petir menyambar bebatuan
dimana tempat Tejo berlindung sampai menimbulkan percikan api. Tejo pun kaget
dan terpental hingga pingsan.
Saat Tejo tersadar dari pingsannya,
ia menjumpai hujan telah berhenti. Ia menatap tajam pada batu besar yang telah
melindungi dirinya dari sambaran petir. Ia merenung dan menyadari bahwa gunung
ini telah menyelamatkan nyawanya. Ia sagat berterima kasih terhadap gunung ini.
Apakah dendam yang ia pendam selama ini pantas ia limpahkan ke gunung ini? Gunung
ini sesungguhnya tidak bersalah. Sesungguhnya takdir yang memisahkan ia dengan
keluarganya, bukan karena gunung ini.
Tejo merenung diri seharian,
untuk apalagi ia hidup. Ia tidak punya keahlian lain selain memecah batu. Jika
ia tidak menjalankan rutinitasnya lagi, apa makna hidup baginya? Kemudian ia
merenung dan kemudian ia menghapus dendamnya. Ia tetap akan menghancurkan
gunung tapi bukan untuk membalas dendam, namun untuk membelah gunung agar ada
jalan yang menghubungkan antara kota dan desanya. Ia tidak ingin ada kejadian
yang ia alami juga menimpa orang lain.
Tejo akhirnya melanjutkan
hari-harinya dengan menghancurkan gunung dengan tujuan baru, yakni membuka
jalan agar bisa dilalui orang banyak. Ia terus melakukan itu sampai 30 tahun
lamanya. Gunung tersebut masih jauh dari hancur dan terbelah. Berita kegigihan
Tejo terdengar sampai ke seorang wartawan koran terkemuka. Wartawan tersebut
akhirnya menceritakan kegigihan dan semangat Tejo di koran. Tulisan kisah
heroik Tejo di koran akhirnya mampu menggugah Pemerintah. Sampai pada akhirnya
Pemerintah memberikan bantuan untuk membuka jalan dengan membelah gunung batu dan
tandus tersebut.
Gunung batu dan tandus itu
akhirnya terbelah dan jalan antara kota dan desanya dapat terhubung. Tejo tidak
menyangka jika pada akhirnya ada orang yang mau membantu usaha yang ia lakukan
setelah berpuluh-puluh tahun. Tejo sangat berbahagia pada akhirnya, karena
hidup yang ia lalui tidak sia-sia dan bermanfaat bagi banyak orang.
Penulis: Ridho Hutomo