Sunday, April 24, 2016

How to: Membangun Kepercayaan

Sering kali mendengar atau melihat karyawan ngambek atau mutung lantaran tidak dipercaya sama bos-nya. “Ah… daripada tidak dipercaya, mending orang lain saja yang mengerjakan pekerjaan itu”. Atau bahkan lebih ekstrim karyawan keluar dari pekerjaan, alias pindah kantor.

Dalam kasus tersebut penyebabnya hanya ada 2, yaitu dari atasan atau dari karyawan.

Penyebab 1: dari Atasan.
Atasan menerapkan gaya manajemen dengan kontrol terhadap proses, bukan terhadap hasil. Hal ini biasa dilakukan terhadap pekerjaan yang bersifat urgent dan kapabilitas anak buah belum teruji.

Penyebab 2: dari Karyawan
Karyawan tidak paham kenapa atasan tidak memberikan kepercayaan penuh terhadapnya.
Lalu bagaimana seorang karyawan mampu mendapat kepercayaan?



Kepercayaan terjadi apabila 3K (Kredibilitas + Kehandalan + Keintiman) lebih besar dari persepsi terhadap kepentingan pribadi.

Kredibilitas dibangun dari cara pandang, keterampilan, dan keahlian yang dibutuhkan untuk mencapai/meningkatkan kinerja organisasi, contoh: memiliki pemikiran atau keahlian untuk menyusun SOP/Prosedur Kerja yang mampu meningkatkan efisiensi proses kerja.

Kehandalan dibangun dari membangun reputasi dan track record yang selalu bertanggung jawab untuk selalu menepati komitmen atau janji, contoh: memiliki tanggung jawab untuk menuntaskan pekerjaan sesuai target meski harus bekerja lebih dari 8 jam.

Keintiman dibangun dari hubungan interpersonal yang efektif, menjaga kejujuran, dan kejelasan dalam komunikasi, contoh: hubungan atasan bawahan seperti hubungan suami istri, akan intim apabila satu sama lain saling memahami dan tidak ada dusta diantara keduanya.

Contoh sederhana, ada 2 orang driver, sebut saja A dan B. Mereka mendapat tugas harus mengantar tamu pada malam hari. Saat menerima tugas tersebut, A langsung menjalankannya karena berpikiran tamu adalah raja dan harus dilayani, dan dia sudah berjanji akan siap sedia melayani tamu jika dibutuhkan kapan pun. Tanpa diminta penumpang, A membukakan pintu dan mempersilahkan penumpangnya masuk ke dalam mobil. Selama membawa penumpang, A sesekali menceritakan kepada tamu tentang tempat-tempat yang mereka lewati sepanjang perjalanan. Selama perjalanan tamu menikmati perjalanan sambil mendengar cerita-cerita dari A, dan tak terasa perjalanan menjadi sangat singkat. Sering sekali A mendapat tip tambahan dari para tamu-tamu akibat 3K yang dimilikinya.

Sementara B sebelum mendapat tugas sering mempertanyakan apakah dia akan dapat uang lembur karena mengantar tamu pada malam hari. Kepentingan B mengantar tamu adalah untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Menurut pemikirannya, wajar bagi dia menerima uang lembur karena sesuai job description normal bekerja hanya 8 jam di pagi hari, sehingga malam hari harus dapat uang lembur. Tugas driver hanyalah mengantar tamu sampai tujuan. Tidak ada kewajiban baginya untuk membukakan pintu untuk tamunya. Berbicara kepada tamu hanyalah untuk menanyakan tujuan, “Mau diantar kemana Bpk/Ibu?”. Kebanyakan tamu B selama perjalanan asik main HP atau tidur.


Tak heran dari kasus tersebut, banyak tamu yang lebih senang diantar oleh A daripada B. 

Saturday, April 23, 2016

Kisah Kapal Perang

"Kamu adalah apa yang kamu pikirkan, tindakanmu tercermin dari pikiranmu" - Anonim.


Alkisah ada sebuah Kapal Perang yang dipimpin oleh seorang Laksamana sedang berlayar pada lautan yang sangat berkabut. Kondisi tersebut menyebabkan sang Laksamana tidak dapat melihat kondisi yang ada di depan. Untuk menghindari kapal menabrak sesuatu yang ada di depan, ia menginstruksikan seorang pengintai untuk selalu bersiaga menginformasikan segala sesuatu yang dapat terlihat mata. Pada suatu malam, tiba-tiba Laksamana mendapatkan laporan penting dari sang pengintai yang ada di anjungan kapal.




Pengintai        : “Ada sinar di depan”

Laksamana     : “Sinar tetap atau bergerak?”

Pengintai        : “Tetap Laksamana”

Laksamana     : (hmm…berarti kita ada dalam arah tabrakan dengan kapal yang ada di depan), “Beri isyarat pada kapal di depan kita untuk mengubah arah 30 derajat agar tidak tabrakan dengan kita”

Radio Officer  :  “Pesan telah terkirim Laksamana”

Laksamana     : “Bagus…” (tetapi kenapa sinar tetap dan tidak bergerak)

Radio Officer  :  “Laksamana, kita dapat pesan balasan, justru kita yang dianjurkan untuk mengubah arah kita 30 derajat”

Laksamana     :  “Kirim pesan padanya bahwa Kapten Kapal ini dipimpin oleh Laksamana, segera ubah arah mereka 30 derajat”

Radio Officer  :  “Laksamana, kita dapat pesan balasan, disana Kelasi Tingkat Dua, mereka tidak bisa melakukan hal itu, justru mereka bersikeras agar kita segera mengubah arah 30 derajat”

Laksamana     :  (mendadak marah besar karena Instruksi Laksamana diabaikan oleh Kelasi Tingkat Dua) “PERINTAHKAN KEPADA MEREKA, SAYA ADALAH KAPAL PERANG!!!, SEGERA UBAH ARAH MEREKA 30 DERAJAT ATAU SAYA TEMBAK!!!”

Radio Officer  :  “Laksamana, ada Balasan dari mereka, mereka Mercu Suar”

Ketika mendengar kalimat Mercu Suar, dalam hitungan detik, Kapal Perang tersebut langsung segera mengubah arah 30 derajat.

Paradigma Laksamana saat mendengar “Kelasi Tingkat Dua” adalah tentang Power atau kekuasaan, namun saat mendengar “Mercu Suar” seketika pula paradigmanya berubah menjadi Pulau atau adanya bahaya besar.


Terkadang dalam komunikasi ada 1 atau 2 kata yang dapat mempengaruhi cara pandang kita, dan cara pandang kita sangat menentukan nasib kita ke depannya.

Sunday, April 17, 2016

Selalu ada Jalan

"Ketika satu pintu tertutup, pintu-pintu lainnya terbuka, tetapi kita sering terlalu lama menatap dan menyesali pintu yang tertutup itu sehingga kita tidak melihat pintu yang terbuka untuk kita." - Alexander Graham Bell.

Pernahkah kita mendengar nasehat bahwa kita harus terus berusaha dan pantang menyerah? Motivasi tersebut sangat sering kita dengar namun sangat sulit untuk dilakukan. Mengapa? Karena pada umumnya manusia mudah putus asa terhadap apa yang namanya kegagalan. Jarang sekali meyakini bahwa keajaiban akan datang bagi orang-orang yang terus berusaha.

Alkisah ada seorang warga desa miskin bernama Tejo. Ia hidup di bawah kaki gunung batu dan tandus. Untuk menghidupi keluarganya, yang ia lakukan adalah memecah bebatuan dan menjualnya ke kota. Sayangnya letak kota ada di balik gunung batu dan tandus tersebut. Ia harus mendaki gunung dan turun gunung setiap harinya. Tejo lahir dari keluarga yang kental budaya menghargai tanah leluhur. Itulah sebabnya ia tak mau pindah ke kota ataupun ke pinggiran kota. Daerah yang tandus menyebabkan desa Tejo dilanda kekeringan dan banyak warga desa yang lama kelamaan pindah ke kota atau pinggiran kota untuk mencari mata pencarian lainnya.



Suatu ketika anaknya berkata padanya ingin pindah ke kota, karena tidak tahan hidup dengan kemisikinan di tanah yang tandus. Anaknya berpendapat bahwa tanah kelahirannya sudah sangat tandus dan sudah tidak diberkati lagi oleh Tuhan. Dahulu memang desa tersebut banyak penduduknya, namun karena musim hujan tak pernah kunjung, akhirnya kekeringan melanda desa tersebut. Banyak penduduk yang meninggal dunia dan sebagian dari mereka pindah ke kota. Hanya yang menjaga tradisi leluhur saja yang tetap bertahan di desa tersebut.

Dengan berat hati, Tejo mengizinkan anaknya untuk pindah ke kota. Ia dan istrinya tetap tinggal untuk menjaga tradisi lelulur. Dalam perjalanan menuju ke kota, anaknya harus mendaki gunung yang terjal. Namun nasib berkata lain, anaknya tergelincir dan jatuh sehingga kepalanya terbentur bebatuan yang keras. Akibat hal tersebut, anak Tejo mengalami luka parah. Mendengar kabar tersebut, Tejo langsung menuju lokasi kejadian dan menjumpai kepala anaknya bercucuran darah. Karena tidak ada dokter di desanya, Tejo bergegas menuju ke kota yang berjarak 25 km dengan cara berjalan kaki. Sesampainya di kota, nyawa anaknya sudah tidak dapat tertolong lagi.

Berita duka tersebut membuat histeris istri Tejo. Istrinya terus menangis berhari-hari meratapi nasib yang menimpa keluarga mereka. Akibat kejadian tersebut, Istri Tejo sering menyalahkan Tejo. Jika saja mereka pindah ke kota bersama-sama, hal tersebut tentunya tidak akan terjadi. Penyesalan yang mendalam dari Istri Tejo membuatnya sakit. Sakit yang diderita Istri Tejo sangat berkepanjangan. Ekonomi yang lemah membuat Tejo tak sanggup membeli obat untuk menyembuhkan sakit Istrinya. Sampai pada akhirnya Istrinya pun menyusul anaknya karena sakit yang tak kunjung sembuh.

Tejo sangat sedih sekali kehilangan keluarga yang ia cintai. Tejo begitu marah dengan gunung batu dan tandus yang ia tinggalin. Ia merasa ia sudah menjaga gunung itu, namun kenapa keluarga yang ia cintai justru meninggalkannya karena gunung batu dan tandus tersebut telah mencelakai anaknya hingga meninggal dunia. Tejo beranggapan, jika saja gunung itu tidak terjal dan menghalangi jalan ke kota, maka kejadian anaknya tergelincir tidak akan ada. Hidup Tejo tanpa harapan, ia sudah tak punya harapan hidup lagi karena sudah tidak memiliki keluarga. Untuk apalagi ia hidup. Namun sebelum ia dipanggil Tuhan, ia bertekad untuk membalaskan dendamnya.

Sejak hari itu, Tejo mengambil Palu dan linggisnya dan bertekad untuk menghancurkan gunung tersebut dengan tangannya sendiri. Orang-orang di desanya menganggap Tejo sudah gila karena ditinggal keluarganya. Mana mungkin gunung yang besar dapat dihancurkan sendiri oleh seorang Tejo. Setiap hari ia menghancurkan bebatuan di gunung tersebut. Terik matahari, kelaparan, kehausan, tangan dan otot yang luka menjadi keseharian Tejo. 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun ia lalui. Ia tetap menghancurkan bebatuan seorang diri. Tak ada seorang pun yang mau membantunya. Orang-orang menganggapnya gila.

Warga desanya sering menasehatinya, untuk apa ia melakukan semua itu, dan menghimbau untuk berhenti. Namun dendam Tejo amatlah dalam terhadap gunung tersebut. Ia tidak mau mati sebelum menghancurkan gunung tersebut.

Suatu ketika, saat Tejo sedang melakukan rutinitasnya menghancurkan gunung, terjadilah hujan lebat yang luar biasa dan terjadi sambaran petir. Tejo sangat khawatir dan takut sekali dengan sambaran petir yang luar biasa banyak. Ia belum pernah melihat petir yang menggelegar selama ini. Beruntung bagi Tejo yang menemukan batu besar di dekatnya, ia pun berlindung di batu besar tersebut. Petir menyambar bebatuan dimana tempat Tejo berlindung sampai menimbulkan percikan api. Tejo pun kaget dan terpental hingga pingsan.

Saat Tejo tersadar dari pingsannya, ia menjumpai hujan telah berhenti. Ia menatap tajam pada batu besar yang telah melindungi dirinya dari sambaran petir. Ia merenung dan menyadari bahwa gunung ini telah menyelamatkan nyawanya. Ia sagat berterima kasih terhadap gunung ini. Apakah dendam yang ia pendam selama ini pantas ia limpahkan ke gunung ini? Gunung ini sesungguhnya tidak bersalah. Sesungguhnya takdir yang memisahkan ia dengan keluarganya, bukan karena gunung ini.

Tejo merenung diri seharian, untuk apalagi ia hidup. Ia tidak punya keahlian lain selain memecah batu. Jika ia tidak menjalankan rutinitasnya lagi, apa makna hidup baginya? Kemudian ia merenung dan kemudian ia menghapus dendamnya. Ia tetap akan menghancurkan gunung tapi bukan untuk membalas dendam, namun untuk membelah gunung agar ada jalan yang menghubungkan antara kota dan desanya. Ia tidak ingin ada kejadian yang ia alami juga menimpa orang lain.

Tejo akhirnya melanjutkan hari-harinya dengan menghancurkan gunung dengan tujuan baru, yakni membuka jalan agar bisa dilalui orang banyak. Ia terus melakukan itu sampai 30 tahun lamanya. Gunung tersebut masih jauh dari hancur dan terbelah. Berita kegigihan Tejo terdengar sampai ke seorang wartawan koran terkemuka. Wartawan tersebut akhirnya menceritakan kegigihan dan semangat Tejo di koran. Tulisan kisah heroik Tejo di koran akhirnya mampu menggugah Pemerintah. Sampai pada akhirnya Pemerintah memberikan bantuan untuk membuka jalan dengan membelah gunung batu dan tandus tersebut.


Gunung batu dan tandus itu akhirnya terbelah dan jalan antara kota dan desanya dapat terhubung. Tejo tidak menyangka jika pada akhirnya ada orang yang mau membantu usaha yang ia lakukan setelah berpuluh-puluh tahun. Tejo sangat berbahagia pada akhirnya, karena hidup yang ia lalui tidak sia-sia dan bermanfaat bagi banyak orang. 

Penulis: Ridho Hutomo

Sunday, April 10, 2016

Bekerja dengan Cinta

"Jika kita mengerjakan sesuatu yang sangat kita sukai, kita tidak perlu memaksakannya. Visinya akan menarik kita." - Steve Jobs.

Pernahkan kita sering mendengar kebanyakan orang bekerja untuk mencari sesuap nasi? Kalimat tersebut mungkin tidak asing kita dengar. Ada 2 (dua) kemungkinan kenapa kalimat tersebut terucap, pertama, karena low profile (rendah hati), atau yang kedua, karena memang kondisi sesungguhnya, hidup dalam keterbatasan.

Alkisah ada 2 (dua) orang anak, Tatang seorang anak petani, dan Adang seorang anak pedagang. Sejak kecil Tatang dibesarkan oleh orang tuanya dengan kehidupan yang sederhana. Setiap pagi ia pergi ke sawah membantu orang tuanya untuk menanam padi. Teriknya matahari dan tetesan keringat sudah bukan sesuatu yang asing bagi Tatang. Jika ditanya, apa yang dia lakukan setiap hari, Tatang selalu berkata, untuk mencari sesuap nasi (ungkapan ini ia katakan untuk mengungkapkan jika ia tidak bekerja keras, maka ia tidak punya cukup uang untuk membeli kebutuhan hidup). Jika ditanya, apa cita-citanya, Tatang selalu berkata ingin hidup bahagia (ia berpandangan bahwa hidup bahagia dapat diperoleh tanpa harus bekerja keras). Terkadang Tatang iri dengan temannya Adang, yang tampak lebih bahagia dari dirinya, tidak harus kepanasan tapi bisa dapat uang setiap hari dari pelanggannya. Saat ia mulai letih akan pekerjaannya, ia selalu istirahat menikmati angin semilir dan pemandangan yang hijau. Hal tersebut selalu mengingatkannya akan kebesaran Tuhan YME. Ia selalu memotovasi dirinya dengan cara berusaha beribadah tepat waktu.

Adang sebagai seorang anak pedagang lebih banyak menghabiskan waktu di toko membantu orang tuanya berjualan. Kehidupannya yang ia lalui tak jauh beda dengan Tatang, bedanya ia tak berurusan dengan teriknya matahari, namun ia banyak berurusan dengan pelanggan yang berbeda-beda. Tak jarang ia harus menghadapi komplain dari pelanggan tentang kualitas barang ataupun harga barang dagangannya. Jika ditanya, apa yang dia lakukan setiap hari, Adang selalu berkata, untuk mencari sesuap nasi (ungkapan ini ia katakan agar tidak terdengar sombong bagi yang mendengarnya). Jika ditanya, apa cita-citanya, Adang selalu berkata ingin menjadi pedagang yang sukses. Terkadang Adang iri dengan temannya Tatang, yang tampak lebih bahagia dari dirinya, bisa punya banyak waktu menikmati keindahan alam dan dapat beribadah tepat waktu.

Suatu saat kedua sahabat tersebut bertemu dan mengkisahkan bahwasannya mereka saling iri satu sama lain. Akhirnya mereka sadar bahwa apa yang mereka pikirkan belum tentu sama dengan apa yang dipikirkan orang lain. Selama ini mereka berdua sudah bekerja keras pada bidangnya masing-masing, namun mereka menjadi tidak terlalu bahagia karena melihat kebahagiaan yang dirasakan orang lain. Ketika Tatang mendengar cita-cita sahabatnya ingin menjadi pedagang yang sukses, diapun merivisi cita-citanya menjadi petani yang sukses. Tatang sadar bahwa tanpa kerja keras tidak akan pernah menuai kesuksesan. Untuk bisa mencintai pekerjaannya, ia merevisi aktivitas yang ia lakukan setiap hari dengan kalimat memberi sesuap nasi buat orang lain. Tatang menyadari bahwa padi yang ia tanam, hasilnya tidak dirasakan buat dia sendiri, tetapi juga orang lain yang membeli hasil panennya. Sementara Adang juga mendapat inspirasi yang berarti dari Tatang. Di tengah-tengah kesibukan, ia tetap harus membagi waktu untuk menikmati hidup dan beribadah tepat waktu untuk membuat hatinya tetap bahagia.

Seiring berjalannya waktu, Tatang dan Adang melakukan pekerjaan sebagai petani dan pedagang dengan suka cita. Kesuksesan dan kebahagiaan mereka raih bersama. Tatang akhirnya tidak hanya menjadi petani sukses, tetapi menjadi pengelola pertanian. Adang mengembangkan usahanya dalam bidang argobisnis bekerjasama dengan Tatang. Tatang menghasilkan produk pertanian dan Adang menjual/mendistribusikan produk pertanian untuk dapat dinikmati masyarakat luas.

Penulis: Ridho Hutomo