"Jika
kita mengerjakan sesuatu yang sangat kita sukai, kita tidak perlu
memaksakannya. Visinya akan menarik kita." - Steve Jobs.
Pernahkan kita sering
mendengar kebanyakan orang bekerja untuk mencari sesuap nasi? Kalimat tersebut
mungkin tidak asing kita dengar. Ada 2 (dua) kemungkinan kenapa kalimat
tersebut terucap, pertama, karena low
profile (rendah hati), atau yang kedua, karena memang kondisi sesungguhnya,
hidup dalam keterbatasan.
Alkisah ada 2 (dua) orang
anak, Tatang seorang anak petani, dan Adang seorang anak pedagang. Sejak kecil
Tatang dibesarkan oleh orang tuanya dengan kehidupan yang sederhana. Setiap
pagi ia pergi ke sawah membantu orang tuanya untuk menanam padi. Teriknya
matahari dan tetesan keringat sudah bukan sesuatu yang asing bagi Tatang. Jika ditanya,
apa yang dia lakukan setiap hari, Tatang selalu berkata, untuk mencari sesuap
nasi (ungkapan ini ia katakan untuk mengungkapkan jika ia tidak bekerja keras,
maka ia tidak punya cukup uang untuk membeli kebutuhan hidup). Jika ditanya,
apa cita-citanya, Tatang selalu berkata ingin hidup bahagia (ia berpandangan
bahwa hidup bahagia dapat diperoleh tanpa harus bekerja keras). Terkadang
Tatang iri dengan temannya Adang, yang tampak lebih bahagia dari dirinya, tidak
harus kepanasan tapi bisa dapat uang setiap hari dari pelanggannya. Saat ia
mulai letih akan pekerjaannya, ia selalu istirahat menikmati angin semilir dan
pemandangan yang hijau. Hal tersebut selalu mengingatkannya akan kebesaran
Tuhan YME. Ia selalu memotovasi dirinya dengan cara berusaha beribadah tepat
waktu.
Adang sebagai seorang anak
pedagang lebih banyak menghabiskan waktu di toko membantu orang tuanya
berjualan. Kehidupannya yang ia lalui tak jauh beda dengan Tatang, bedanya ia
tak berurusan dengan teriknya matahari, namun ia banyak berurusan dengan
pelanggan yang berbeda-beda. Tak jarang ia harus menghadapi komplain dari
pelanggan tentang kualitas barang ataupun harga barang dagangannya. Jika ditanya,
apa yang dia lakukan setiap hari, Adang selalu berkata, untuk mencari sesuap
nasi (ungkapan ini ia katakan agar tidak terdengar sombong bagi yang
mendengarnya). Jika ditanya, apa cita-citanya, Adang selalu berkata ingin menjadi
pedagang yang sukses. Terkadang Adang iri dengan temannya Tatang, yang tampak
lebih bahagia dari dirinya, bisa punya banyak waktu menikmati keindahan alam
dan dapat beribadah tepat waktu.
Suatu saat kedua sahabat
tersebut bertemu dan mengkisahkan bahwasannya mereka saling iri satu sama lain.
Akhirnya mereka sadar bahwa apa yang mereka pikirkan belum tentu sama dengan
apa yang dipikirkan orang lain. Selama ini mereka berdua sudah bekerja keras
pada bidangnya masing-masing, namun mereka menjadi tidak terlalu bahagia karena
melihat kebahagiaan yang dirasakan orang lain. Ketika Tatang mendengar
cita-cita sahabatnya ingin menjadi pedagang yang sukses, diapun merivisi
cita-citanya menjadi petani yang sukses. Tatang sadar bahwa tanpa kerja keras
tidak akan pernah menuai kesuksesan. Untuk bisa mencintai pekerjaannya, ia
merevisi aktivitas yang ia lakukan setiap hari dengan kalimat memberi sesuap
nasi buat orang lain. Tatang menyadari bahwa padi yang ia tanam, hasilnya tidak
dirasakan buat dia sendiri, tetapi juga orang lain yang membeli hasil panennya.
Sementara Adang juga mendapat inspirasi yang berarti dari Tatang. Di
tengah-tengah kesibukan, ia tetap harus membagi waktu untuk menikmati hidup dan
beribadah tepat waktu untuk membuat hatinya tetap bahagia.
Seiring berjalannya waktu,
Tatang dan Adang melakukan pekerjaan sebagai petani dan pedagang dengan suka
cita. Kesuksesan dan kebahagiaan mereka raih bersama. Tatang akhirnya tidak
hanya menjadi petani sukses, tetapi menjadi pengelola pertanian. Adang
mengembangkan usahanya dalam bidang argobisnis bekerjasama dengan Tatang. Tatang
menghasilkan produk pertanian dan Adang menjual/mendistribusikan produk
pertanian untuk dapat dinikmati masyarakat luas.
Penulis: Ridho Hutomo
Penulis: Ridho Hutomo
No comments:
Post a Comment